The Flowers of War: Sisi Lain Tragedi Nanking

Nanking 1937. Mayat di mana-mana. Tak ada kolong kota itu yang aman dari serbuan peluru dan hujaman pedang tentara Jepang, kecuali sebuah gereja Katholik bernama Winchester. Katedral tua bergaya Eropa itu kokoh tak tersentuh di tengah reruntuhan bangunan lain yang bersimbah darah warga Nanking.

Invasi Jepang ke Nanking dikenal dunia sebagai salah satu peristiwa pembantaian yang kejam. Selain merenggut puluhan ribu nyawa (meski serbuan Jepang tak sampai sebulan), tragedi Nanking juga dikenal tragis karena banyak perempuan Tiongkok yang mengalami perkosaan.

Sejarah kelam itulah yang diangkat sutradara Zhang Yimou dalam film berdurasi sekitar 140-an menit. Dalam film ini, Yimou yang pernah mendalangi film Hero bercerita dengan hati. Ia tak sekadar mengadaptasi novel 13 Flowers of Nanking, tapi juga menyulapnya jadi begitu mengharu-biru bagi kita yang menontonnya.

Siang bertabur debu dan berhias suara tembakan itu mengenalkan Shu (Zhang Xinyi), siswa biara Winchester yang baru berusia 13 tahun, dengan seorang warga Amerika bengal yang bekerja sebagai perias jenazah bernama John Miller (Christian Bale). Shu, kawan perempuannya, dan John, dipertemukan nasib karena sama-sama lari dari kejaran tentara Jepang yang luar biasa bengis.

Di dalam Gereja Winchester keduanya berlindung. Begitupun belasan siswi perempuan kawan Shu, dan George, anak almarhum pastor gereja tersebut. Kondisi makin runyam saat belasan perempuan pelacur rumah bordil Qin Hai River (yah, bisa dibilang ini rumah bordil kelas atas, lah) merapat ke gereja untuk numpang berlindung.

Antara Shu dkk dan kelompok pelacur itu mulanya sama sekali tak akur, meski salah satu pelacur, Yu Mo, mencoba mencairkan suasana. Keadaan berubah ketika puluhan tentara Jepang merangsek masuk ke dalam katedral, dan mencoba memperkosa belasan siswa di dalamnya. Yu Mo dkk saat itu justru aman, karena bersembunyi di ruang bawah tanah.


Ketika kondisi makin pelik, dan jerit siswa-siswa belasan tahun itu makin memenuhi rongga katedral, John Miller turun tangan bak peri dari kahyangan. Ia menyaru serupa pastor, lengkap dengan jubah hitam panjangnya. Dari bibirnya terseru kalimat-kalimat yang sempat membuat ciut nyali para tentara Jepang.

Sehari setelah itu, datang perwira Jepang bernama Kolonel Hasegawa (Atsuro Watabe). Ia atas nama negaranya meminta maaf atas ulah kurang ajar tentara Jepang pada siswa-siswa biara. Namun kunjungan Hasegawa berikutnya justru menjadi kabar buruk yang membuat para siswa dan John kelimpungan. Pada momen itulah para pelacur yang berumah di ruang bawah tanah, mengambil keputusan mengejutkan.


Film ini mampu membuat saya ngeri, terlebih membayangkan berhadapan dengan serdadu Jepang yang tak kenal ampun. Zhang Yimou terlihat sangat berusaha keras untuk membawa penonton terlibat emosi yang dalam dengan belasan putri sekolah yang tinggal di katedral, pun dengan para pegawai seks komersialnya yang rupawan. Sinematografi film ini juga mantap. Detail sangat diperhatikan oleh sang sutradara, sehingga membuat kita terjaga menyaksikan kisah heroik Yu Mo dkk.

Sayang, tak semua artis kecil bermain baik di film itu. Selain pemeran Shu, hampir semuanya berakting kurang total. Mereka kurang mampu menyajikan kepedihan akibat kehilangan orang yang mereka sayang. Sedangkan perempuan-perempuan pemeran pelacur tampil oke. Mereka bisa menunjukkan diri sebagai pelacur berkelas yang selalu tampil elegan dan cantik (bahkan matching), dalam kondisi perang sekalipun. Hehehehe...

Christian Bale bermain cantik, meski perubahan karakternya terkesan terlalu dipaksakan dan instan. Yah, agak aneh saja menurut saya, dia yang semula urakan dan preman, tiba-tiba berubah baik hati dan budiman bak pastor asli. Tapi dipilihnya dia menurut saya sudah tepat. Dan pastinya Bale tetap saja tampan dan seksi pakai baju apapun :)

Comments

Post a Comment

Popular Posts