Pilihan

Ketika menghadapi sebuah masalah, pilihan bagi saya hanya dua: menganggapnya sebagai masalah dan jatuh pusing karenanya, atau menganggapnya sebagai ujian yang akan "dinilai" dan bakal berakhir oleh dentang bel. Semua pilihan itu ada konsekuensinya, sesederhana pilihan menu sarapan kita.

Jika kita sarapan bubur ayam, kita bakal merasa tak mudah ngantuk karena "materinya" nggak berat-berat amat. Tapi minusnya, kita bisa saja maag dan mual karena bubur mengandung gas cukup tinggi. Beda ceritanya jika kita memilih sarapan nasi goreng. Kita bisa jadi kenyang dan punya energi cukup menjalani hari. Namun negatifnya, kita bakal ngantuk karena kandungan gula dalam nasi bakal bekerja dengan sigap.

Baru Minggu pagi lalu, di dapur kosan. Saya dan Nindy merasa ada yang nggak beres dengan pola hidup kami selama ini. Kami sama-sama kerja di media, yang tidak mengharuskan pekerjanya ada di kantor jam 8.30 pagi.

Jadilah selama ini kami menjadi homo insomnius, yang kehilangan momen tidur malam, karena hampir selalu baru terlelap saat dinihari. Efeknya? Jangankan mendengar cericit burung di balik jendela kamar. Saya bahkan lupa sejuknya udara pagi.

Kebiasaan buruk itu imbasnya beragam. Saya dan Nindy merasa mudah sakit, badan cepat lelah, jadi pemalas, dan mudah marah. Oh no.. Saya bahkan tidak mengenali diri saya sendiri yang belakangan moody dan mudah berpikir negatif.

Kami akhirnya mengambil keputusan tegas. Kami harus berubah. Tak perlu susah-susah. Untuk awalnya, cobalah tidur maksimal pukul 00.30 malam, dan bangun pagi untuk solat subuh. Beri jeda yang cukup bagi panca indra untuk menikmati pagi, dan yah, sedikit merenung. Hahaha..

Malam pertama mempraktekkannya, saya baru sukses tidur pukul 01.00. Oke itu catatan yang buruk, meski saya sudah mencoba mematikan bebe agar tidak tergoda untuk mengintip timeline Twitter ataupun mantau recent updates BBM. Tapi paginya saya berhasil bangun pukul 5 pagi, salat, dan menahan diri enggak tidur lagi.

Godaan muncul pada malam kedua, Senin lalu. Adalah si pacar yang sepertinya tersinggung dengan keputusan saya mematikan BBM menjelang tidur. Tapi yah wajar dia marah, karena saya belum sempat cerita program ajaib saya ini. Untungnya sih setelah saya jelaskan, dia mengerti.

Siang ini pun terasa sempurna buat saya. I feel both happy and healthy. Saya merasa "stabil", bahagia, dan badan pun tidak mudah lelah.

Sampai akhirnya masalah muncul lagi sore tadi, beruntun, membabibuta, dan tanpa ampun mengacaukan mood saya yang terbangun baik dalam dua hari ini. Walhasil, saya pun sukses "drop" dan mulai kesusahan menemukan ritme berpikir positif yang sempat ada 2 hari terakhir.

Saya tak perlu ceritakan apa masalah saya. Tapi saya tak bisa bohong. Rasanya seperti sedang bungee jumping tanpa pemberitahuan. Kamu semula begitu bahagia melihat pemandangan dari atas. Kanan kiri kamu tebing yang indah dan gagahnya tak terperi.

Namun tiba-tiba ada tangan yang mendorong kamu jatuh ke bawah. Pemandangan indah itu pun seketika kabur, terganti perasaan kaget, takut, cemas, dan panik. Kamu tahu kamu tak bakal mati karena tubuhmu diikat pengait dan tali. Tapi kamu dipaksa menghadapi ketakutanmu. Kemungkinan kematianmu.

Saya sendiri nggak tahu kenapa setelah ashar tadi, perasaan saya jauh membaik. Saya merasa tenang, rileks, dan tidak takut. Ya, tidak takut. Saya tiba-tiba saja merasa ini cuma ujian, yang akan sayang jika saya bayar dengan tangisan.

Pernah saya dengar dari seseorang, kunci bahagia adalah ikhlas. Sungguh, walau terdengar mudah, itu sama sekali tidak sederhana. Ikhlas berarti pasrah pada si pemilik hidup, dan percaya pada-Nya. Ikhlas bukan berarti begitu saja menangisi kondisi, tapi melakukan refleksi, untuk kemudian bersera.

Ikhlas adalah menyadarkan diri bahwa siapa saja bisa salah. Bahwa siapa saja pun bisa 'benar'. Bahwa ujian yang kita hadapi bisa jadi bagian dari karma, karena dulu kita berbuat salah. Bahwa cobaan yang kita alami adalah cara membuat kita lebih dewasa, dan menerima kenyataan tak ada satu pun yang sempurna di dunia.

Saya nggak berusaha sedang sok bijak atau sok serius. Saya cuma ingin berdamai dengan diri saya sendiri, dengan ujian di depan saya, dan dengan ketakutan yang ada di antaranya. Terserah saya dianggap bodoh, tolol, atau apalah itu. Peduli apa saya?

Sila berbuat apapun. Sila berpikir apapun. Perbuatan baik akan dibalas yang lebih baik. Pun sebaliknya. Saya tak mau lelah memikirkan materi ujiannya. Mending diisi semampu saya, dan bersenang-senang setelah bel berdentang.

Urip iku mung mampir ngombe. Di dunia ini kita sekadar mampir minum.

Comments

Post a Comment

Popular Posts