Semua Butuh Perjuangan

Kepulangan saya kali ini penuh perjuangan. Kamis, 28 Maret 2013 lalu, saya belum nyelesaiin tulisan, dan belum packing. Walhasil, sejak pagi saya terus-menerus mengasup kopi biar enggak ngantuk.

Semua urusan selesai pukul 18.15. Saya pun langsung mencari Pak Ubay di pangkalan ojek dekat kosan, minta diantar ke Terminal Rawamangun. Si bapak yang superpelan saat bawa motor itu saya minta ngebut karena bus saya dijadwalkan berangkat jam 19.00.

Naas, udah buru-buru, bis saya baru berangkat jam 21.00. Saya pun mulai stres, migren, dan uring-uringan. Badan saya yang memang agak meriang, mulai "protes". Saya pun ngabarin orang rumah dan si mamas kalau busnya supermolor.

Penderitaan tak berhenti di situ. Bus ternyata tidak menyediakan makan malam gratis, seperti biasanya (udah gitu busnya jelek dan sempit karena bus tambahan). "Kejutan" bertambah saat pada pukul 5 pagi, bus berhenti di sebuah pom bensin untuk memberi kami kesempatan solat, pipis, dan makan (which is makannya bayar sendiri).

Setengah mengantuk, saya pun tanya pada kasir CFC, sekarang saya lagi ada di mana. Poor me, ternyata saya ada di Pemanukan. SUBANG. What?? Jam 5 pagi saya masih di Subang? Biasanya jam 5 itu saya udah sampai Semarang.. *cry*

Saya segera BBM bapak mengabarkan posisi. Saya juga tanya-tanya ke penumpang bus lainnya. Ternyata semalam jalanan macet berat karena long weekend. Si sopir bilang, terakhir dia menghadapi macet separah semalam itu ya pas Lebaran lalu :((

Pasrah. Cuma itu yang bisa saya lakukan. Sampai akhirnya bus sampai di Semarang pukul 14.30 alias molor 9 jam dibandingkan biasanya. Saya dijemput Sofie, adik pertama saya, di depan Nasmoco. Rasa capek, marah, dongkol, seketika hilang begitu Sofie turun dari mobil dan bantu bawain tas ransel saya.

Sampai rumah, senyum saya terus mengembang karena ketemu bapak dan mami. Gilaaaaa.. Untuk bisa ketemu mereka ini perjuangannya berat bangeet.. Saya mesti hujan-hujanan sampai terminal, kelaparan di jalan, dan menempuh perjalanan hampir 18 jam. Tapi semua itu rasanya setimpal jika "hadiah" yang saya dapatkan adalah mereka.

Begitu di rumah, saya pun reflek mencari makanan. Kebetulan banget di meja makan lagi ada lapis legit dan brownies. Trus di kulkas ada seabrek coklat yang kayaknya teriak "Pitriiiii... Akhirnya kamu datang juga. Makan aku Pitri, makan akuuu..."

Tangan saya baru saja mau meraih makanan-makanan itu. Sebelum akhirnya ada suara yang menggagalkannya. "Eh eh eh!! Nggak!! Nggak boleh!!" kata mami, melotot. "Mam, laper.." saya mencoba mengiba. "Tadi katanya kamu udah makan siang di Gringsing?" timpal bapak.

Jreeeeeng!! Oke. 2-1. Saya kalah.

Seperti sudah diduga, mami saya yang drama queen itu pun mulai mengomentari badan saya yang menggemuk. Bla bla bla yang ujungnya dia mulai membandingkan saya dengan Alya, adik saya yang kedua. "Alya sekarang langsing lho. Dia olahraga terus, diet juga," ujar mami dengan bangganya.

Saya cuma meringis. Ish, si Alya kan gendut banget. Perutnya gedhe. Masa sih bisa langsing? Penasaran, saya pun memanggil Alya (dia semula lagi di belajar di kamar karena besoknya ujian). Mana sih mana, yang dibilang langsing?

Dan yaaaaak.. Saya kalah 3-1. Alya beneran langsing! Perutnya rata!

Saya mendadak tambah meriang. Dress saya zaman duluuuuu banget, yang muat pas saya langsing, bisa pas di badan Alya! Aaaaaaargh.. !!!

Bapak, mami, Sofie, dan Alya, langsung nyemangatin saya. Mereka bilang, badan saya dulu tidak melar begini. Ukuran celana saya 30, dan ukuran baju saya M (jangan tanya ukuran sekarang. Plis.). "Kamu pasti bisa, Kak. Kamu kan dulu pernah segini," kata Sofie, sambil memperlihatkan foto saya zaman dulu.

Ah, ya. Di foto itu saya tampak "sehat". Paha, lengan, dan perut saya enggak besar seperti sekarang. Badan saya pun enggak seperti donat mengambang (istilahnya si mamas.. Hiks). Saya pun mulai gelisah. Badan saya bisa seperti itu lagi enggak ya?

Alya yang lagi euforia punya badan langsing, menyemangati saya. Dia bilang, saya pasti bisa mengecil lagi kalau saya konsisten dan niat. "Jangan tergoda makan malam. Porsi makannya dikurangi. Kalau temen-temenmu ngajak nongkrong, jangan tergoda ngemil," kata Alya. "Berat, sih. Tapi kan semua butuh perjuangan."

Sofie enggak mau kalah mendukung saya untuk diet. Dia mengambil kertas yang dulu saya print dan tempel di belakang pintu lemari baju. Kertas itu berisi daftar makanan dan minuman pantangan selama diet. Ya Tuhan, saya lupa dulu pernah hidup sesehat itu..

Oke, saya mau diet. Saya mau langsing. Saya mau sehat. Sama seperti perjalanan pulang saya dan langsingnya Alya, diet saya pun butuh perjuangan

Tapi saya yakin, kalau saya sungguh-sungguh, hasilnya akan setimpal.

Comments

Post a Comment

Popular Posts