Tak Semata Soal Destinasi


Bagi sebagian orang, destinasi mungkin jadi hal terpenting saat liburan. Namun ada pula orang yang tak menjadikan destinasi sebagai intisari berwisata. Bagi pelancong macam ini, yang asyik dalam sebuah wisata adalah proses perjalanannya. Dalam perjalanan, kita tak hanya mendapat pengalaman baru, tapi juga bisa berakrab ria dengan keluarga maupun kawan seperjalanan.

Tempo mencoba melakukan road trip selama tiga hari dua malam, untuk menjajal model wisata keluarga dengan mobil. Rencana semula, kami berniat menuju Pangandaran, Jawa Barat. Untuk menuju daerah itu, dari Jakarta, kami mesti melewati menyusuri tol Cikampek, Nagrek, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Untuk alternatif, kami memilih Purbalingga, Jawa Tengah, sebagai daerah tujuan.

Tetek-bengek liburan kami siapkan, mulai dari pakaian, makanan, obat-obatan, peralatan untuk mobil, cakram berisi lagu, serta perlengkapan tidur seperti bantal dan sleeping bag. Karena destinasi tujuan bersuhu ekstrim –Pangandaran panas karena kaya pantai, sedangkan Purbalingga yang berlokasi di kaki Gunung Slamet dingin, kami tak lupa membawa jaket tebal dan atasan berbahan tipis yang menyerap keringat.

Bekal makanan juga kami persiapkan secukupnya. Untuk road trip, bekal makanan jadi salah satu hal penting yang mesti diperhatikan. Memang sejumlah daerah kini memiliki banyak minimarket. Namun ada kalanya kita melewati jalur tol yang cukup panjang, serta daerah yang kanan-kirinya hanya kebun dan perumahan penduduk. Pastikan pula persediaan air mineral Anda cukup untuk menghindari dehidrasi di perjalanan.

Kami bertolak dari Jakarta pukul 14.30 WIB, Selasa sore lalu. Ketika berangkat, cuaca masih cerah. Langit beranjak mendung ketika kami memasuki tol Jakarta-Cikampek. Hujan deras menyebabkan perjalanan kami di tol sedikit tersendat. Beruntung, kami ditemani lagu-lagu Bob Marley yang bisa meredakan penat. Pukul 17.30, kami pun memutuskan berhenti di Rest Area Cileunyi, untuk beristirahat dan menikmati segelas kopi panas.

Perjalanan kami lanjutkan bakda maghrib, setelah mengisi solar di pom bensin Cileunyi. Karena berencana mencicipi kuliner Garut, kami pun memutuskan tak berhenti lagi dalam perjalanan Cileunyi-Garut. Waktu tempuh Cileunyi-Garut lebih cepat dari perkiraan. Masuk Kabupaten Garut pukul 20.00, kami pun segera berburu kuliner di pusat kota tersebut.

Sebelum berangkat, kami sudah berencana akan mencicipi kuliner daging domba di Garut. Kami tak meriset nama restorannya, karena kami pikir akan ada banyak rumah makan yang menjual daging domba di sana. Apalagi Garut dikenal sebagai daerah peternak domba. Namun perkiraan kami salah. Setelah menelusuri pusat kota selama 30 menit, kami tak melihat tak satu pun warung yang menawarkan kuliner incaran kami. Banyak warung makan di kanan-kiri jalan pusat kota, namun kebanyakan menjual nasi goreng kambing.

Kami akhirnya berbalik arah menuju area pemandian air panas Cipanas, 5 km dari pusat kota. Tak disangka, di perjalanan kami menemukan Abah Otje, restoran yang menjual aneka olahan domba. Pemilik Abah Otje, Bonny Irvan Faizal, menjawab kebingungan kami ihwal tidak adanya kuliner domba di pusat kota. Kata dia, restonya adalah satu-satunya tempat yang “jujur” menggunakan daging domba sebagai bahan masakan. “Warung lain ada yang pakai daging domba, tapi mereka menyebutnya kambing karena lebih familiar,” ujarnya.

Riset mengenai kuliner kota tujuan wisata sangat penting, agar Anda tak membuang-buang waktu untuk menentukan tempat makan. Jika Anda bepergian dengan teman, menelusuri kota untuk berburu makanan khas daerah akan jadi proses yang mengasyikkan. Namun jika Anda melakukan road trip bersama anak, hal ini mesti dipertimbangkan. Memangkas proses mencari tempat kuliner paling tidak bisa membuat anak Anda tak rewel.

Setelah cukup lama beristirahat di Abah Otje sembari mengobrol soal kuliner domba dengan Bonny, kami beranjak mencari penginapan. Tak susah menemukan penginapan di Garut. Jika masih ingin menjelajah kuliner pada tengah malam, Anda bisa lebih baik menginap di pusat kota. Namun kami memilih menginap di Cipanas, karena ingin merasakan sensasi berendam air panas.

Penginapan di Cipanas tak mahal, berkisar antara Rp 150-400 ribu per malamnya. Rata-rata kamar di sana memiliki fasilitas kolam air panas, yang bisa Anda manfaatkan sesuka hati untuk berendam. Kolam di dalam kamar penginapan biasanya berukuran cukup luas, sekitar 4x2 meter persegi, sehingga bisa Anda manfaatkan untuk bersantai bersama keluarga kecil.

Keesokan harinya, sekitar pukul 09.00, kami meninggalkan penginapan. Rencananya, kami akan menuju Pangandaran dan menikmati wisata pantai dan sungai di sana. Namun terlebih dulu, paginya kami mengunjungi peternakan domba Abah Otje di Ranca Balong, 5 km dari Cipanas. Kami juga mampir ke Chocodot, pusat oleh-oleh khas Garut yang memadukan coklat dan dodol, di Jalan Raya Kubang.


Untuk mencapai Pangandaran, kami mesti melewati Tasikmalaya dan Ciamis. Tasikmalaya kami pilih sebagai tempat beristirahat makan siang, karena seorang kawan mempromosikan tutug oncom alias TO, kuliner khas Priangan Timur. Rencana semula, kami sudah mencapai Tasikmalaya tepat tengah hari. Namun rencana sedikit berubah, karena di perjalanan kami tak sengaja melihat proses pengolahan kolang-kaling.

Kami pun akhirnya meminggirkan mobil di kiri jalan. Di tepi jalan raya perbatasan Garut-Tasikmalaya itu, kami menyaksikan dua pria, ayah dan putranya, tengah merebus kolang-kaling dalam dua drum besar, menggunakan arang dan minyak tanah. Menurut sang anak, Nandar, 29 tahun, ia dan ayahnya, Bihin, 50 tahun, kolang-kaling perlu direbus selama 1-1,5 jam agar mudah dikupas, dan mencegah gatal di mulut ketika dikonsumsi.

Sesudah direbus, kolang-kaling itu didinginkan dulu selama sekitar 30 menit sebelum dikupas dan digeprek dengan batu. Setelah itu, baru kolang-kaling direndam dengan air selama seminggu, agar ukurannya mengembang. Nandar mengatakan, dari proses membeli kolang-kaling dari perkebunan hingga membersihkannya, tak banyak duit yang ia dapat.

Jika hari biasa, kolang-kaling yang diproses Nandar dan Bihin hanya dihargai Rp 2-3 ribu per kilogram oleh tengkulak. Namun menjelang bulan puasa, kolang-kaling bisa dijual Rp 4 ribu per kilogramnya ke tengkulak. Oleh tengkulak, kolang-kaling itu dijual lagi ke Bekasi, Karawang, dan Jakarta.



Usai mengobrol dengan Nandar dan menyaksikan proses pengolahan kolang-kaling, kami melanjutkan perjalanan ke Tasikmalaya. Perjalanan Gresik-Tasikmalaya menyenangkan, karena pemandangan di kiri-kanan jalan sangat mempesona. Tak hanya kemolekan Gunung Guntur yang kami lihat, tapi juga hamparan sawah nan hijau. Pemandangan itu bisa membuat kami melupakan pusing karena kondisi jalanan yang menanjak dan berkelok-kelok.

Begitu masuk Tasikmalaya, kami langsung menuju Stadion Dadaha. Sebab berdasarkan informasi yang kami dapat dari kawan, tutug oncom atau TO yang legendaris di kota asal pebulutangkis Susi Susanti itu ada di sekitar stadion. Ternyata, ada banyak warung makan TO di sana. Kami pun bertanya pada penduduk setempat, TO mana yang terkenal paling enak.

Kata seorang warga, hampir semua TO di Tasikmalaya punya citarasa serupa. Namun ia merekomendasikan TO Rahmat yang berkonsep lesehan dan dekat dengan sawah, karena cocok untuk bersantai. Tak salah memilih TO sebagai menu makan siang, karena rasa makanan yang memadukan nasi putih dengan oncom ini unik. Kami sempat berdiam lama di saung TO Rahmat, karena hujan turun deras, disertai angin.

Pukul 14.00, kami memutuskan bergerak menuju Pangandaran, karena tak ada tanda hujan segera reda. Namun kami kurang beruntung. Setibanya di Pangandaran sore itu, hujan belum juga reda. Penduduk setempat yang kami temui mengatakan, body rafting di Green Canyon, objek wisata paling terkenal di sana, tidak aman saat hujan. Pun bermain di pantai-pantai di sekitar Pangandaran, kurang nyaman selepas hujan.

Kami akhirnya memutuskan berbalik arah ke Ciamis, dan menjalankan rencana cadangan, menuju Purbalingga. Kota itu jadi pilihan karena memiliki sejumlah objek wisata menarik, seperti Taman Rekreasi Air Owabong, Desa Wisata Karang Banjar, dan Taman Sangaluri. Setelah menempuh perjalanan selama empat jam, kami tiba di Purbalingga. Kami beristirahat di penginapan yang terletak persis di samping alun-alun kota.

Kamis pagi, pukul 09.30, kami memutuskan menuju Desa Wisata Karang Banjar. Objek itu kami pilih karena tergiur deskripsi di internet. Menurut penjelasan sejumlah blogger, Desa Wisata Karang Banjar menarik karena di sana kita bisa melihat usaha rumahan pembuatan wig atau rambut palsu. Pemandangan alam di desa itu juga menawan, karena dikelilingi sawah dan Gunung Slamet.

Tak menyesal rasanya memilih Desa Wisata Karang Banjar. Di sana, kami melihat usaha rumahan yang dijalankan Eko Setiawan alias Koko, 32 tahun. Koko adalah generasi ketiga pengusaha wig di Karang Banjar. Produknya sudah terjual ke pelosok nusantara, juga Turki, Inggris, dan Amerika Serikat. Dengan 50 pegawai, usaha wig merek Fair Lady milik Koko beromzet Rp 300-400 juta per bulannya.



Usai bertandang ke kediaman Koko, kami beringsut berburu Soto Haji Misdar dan Es Durian Kombinasi. Ayah Koko-lah, Nudiyono, 56 tahun, yang menyarankan kami mencicipi dua macam kuliner khas kotanya. Tak susah mencari Warung Soto Haji Misdar. Rumah makan itu berlokasi persis di depan Pengadilan Negeri Purbalingga di daerah Bancar. Tak disangka, Es Durian Kombinasi itu berada persis di sebelah Warung Soto Haji Misdar.

Untuk kembali ke Jakarta, kami memilih jalur pantai utara. Keluar dari Purbalingga, kami melewati Purwokerto, berlanjut ke Brebes, Indramayu, Subang, lalu masuk tol Cikampek. Kami menyempatkan diri singgah di Brebes untuk membeli telur asin khas kota itu. Tak sulit mencari telur asin di Brebes, sekaligus menikmati kopi panas di pusat kota. Anda bisa menjumpainya di berbagai titik kota itu. Merek paling terkenal, Cah Angon, bisa dibeli di sentra oleh-oleh di sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan Diponegoro.

Sebelum pulang, pastikan perbekalan makanan dan air minum Anda mencukupi. Logistik sangat menolong Anda di perjalanan, apalagi di pantai utara, kemacetan kerap menyapa. Jangan lupa juga rajin mengecek persediaan bahan bakar, untuk mengantisipasi kemacetan di Subang dan Cikampek. Untuk road trip tiga hari ini, total Rp 700 ribu kami keluarkan untuk membeli solar, dan Rp 102.500 untuk membayar karcis tol.

ISMA SAVITRI

-- ini artikel yang saya bikin utk Koran Tempo Minggu 16 Juni 2013 --

Comments

  1. Aku ga baca yang nongol di koran; minta dong :p

    ReplyDelete
  2. info bisnis online gan
    okeyprofits.com perusahaan online yg sudah banyak menguntungkan dan sya sudah membuktikannya, hanya modal 100 rb saya sdah untung 1 jutaan dlm 1 minggu.dengan merekrut org lain kita dpt bonus, perushaan memberikan keuntungan 2% perhari dari modal awal kita dan kontrak 100 hari
    ini kerja nyata semakin giat dan percya dri dlm meyakinkan orang lain tak da yg tak bisa. kerja keras hasil pun besar kerja malas tak da hasil.
    daftar grtais dr Url sya
    untuk info lanjut 082166643133

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts