Review Jurassic World: Saat Dino Kalah oleh Keseksian Mas Pratt


Jurassic World adalah film yang saya impikan sejak beberapa tahun terakhir. Tak lain karena Vitri kecil –waktu itu masih SD dan badannya emang masih mungil- begitu terpesona pada sosok dinosaurus yang besar, gahar, “monster banget”, dan mampu membuat jantung deg-degan tak karuan.

Masih ingat banget lah, waktu itu saya nonton di kursi deret depan bioskop, dan saking takutnya sama dinosaurus, saya sampai minta pangku bapak. Hehehe.. Tapi, entah kenapa, saat saya gede pun (dengan badan yang gendutnya kayak Triceratops), saya tetap masih sesak nafas kendati berkali-kali menonton  mahakarya Spielberg itu.

Dan tibalah masa dinosaurus kembali “meneror” kehidupan kita. Kini bukan lagi Spielberg yang menggiring kita masuk ke taman Jurassic, tapi Colin Treverrow. Lalu apa yang saya –si penyuka film makhluk gigantis terutama dinosaurus- harapkan ketika menonton Jurassic World? Saya ingin melihat petualangan, dinosaurus yang lebih jahat dan buas, taman yang lebih adventurous, serta adegan perburuan oleh para dino yang lebih seru, mencekam, dan bikin jantung berdegup tak karuan.


Padahal saya enggak ngomong ke siapa-siapa lho ya, soal keinginan itu (halah). Tapi ternyata, Jurassic World berupaya memenuhinya dengan gimmicks dan alur cerita yang mengarah ke sana. Ya, mereka menyiapkan ruang nostalgia untuk kita klangenan dengan taman Jurassic-nya Hammond yang epic itu.

Jurassic World mengambil setting dua dekade pascatragedi di Jurassic Park. Adalah orang terkaya kedelapan di dunia, Sam (Irrfan Khan), yang mengelola taman Jurassic menjadi semacam Taman Safari versi Disneyland. Di sini, beberapa dinosaurus bisa kita pegang, elus-elus, bahkan kita naiki. Namun beberapa dino gahar macam mosasaurus, T-Rex, dan raptor, tetap dibikin “berjarak” dengan alasan keamanan.

Lalu apa jadinya jika dinosaurus jadi lebih bersahabat dan tak lagi menyeramkan? MEMBOSANKAN. Ya, paling tidak itu yang ada di benak saya sebagai orang yang doyan lihat Sam Neill tegang diendus-endus T-Rex.


Upaya memenuhi harapan akan dinosaurus yang “lebih besar”, “lebih menakutkan”, dan “lebih sangar” itu kemudian diterjemahkan para anak buah Sam dengan menciptakan makhluk hibrida genetika, Indominus Rex. Masalah muncul saat Indominus Rex sukses kabur dari kandangnya. Doi pun lantas memicu munculnya banyak jerit kengerian, cipratan darah, dan kekacauan di mana-mana.

Sayangnya, sudah dibikin susah-susah begitu, Indominus Rex gagal membuat saya terkesan #kamugagalDom,kamugagal

Dan ini semua salah siapa? Mas Chris Pratt! Iya, kamu Mas! Kamu! Kamu dan kegantengan dan karisma dan keseksianmu yang bikin film itu bukan lagi Jurassic World, tapi Pratt World! Aaaaaarkkk sungguh saya gagal paham kenapa Treverrow mau ambil risiko menaruh aktor semacam itu (baca: sekel dan emesh) di film yang udah ditunggu-tunggu orang sejak lebih dari sewindu lalu!

Brummm brummm brummm (*bunyi deg2an jantung saya, bukan bunyi motor*)
Ya, Chris Pratt berhasil membuat sekuel ini jadi sangat menarik, hidup, asyik, dan cool. Membuat sekuel adalah PR sangat berat, apalagi buat film trilogi sedahsyat Jurassic Park. Tapi film ini membuat saya yang sudah lama menanti ini jadi terhibur dan terpuaskan pandangannya. Hihihi..

Momen yang paling menarik dari film ini sendiri menurut saya bukan ketika mata Indominus Rex meneror dari balik kaca markasnya, maupun saat doi kabur dari kandang. Bukan. Tapi ketika Chris Pratt muncul dan menjinakkan para raptor seolah hewan-hewan itu hanyalah semacam.. kelinci-kelinci imut.

Pratt, yang di sini adalah seorang dino whisperer bernama Owen Grady, menjadi ikon baru yang memaksa mata menengok padanya. Ini semacam kita terkena sihir mantra “eyes on me!” yang diucapkan Pratt pada para raptor penghuni Jurassic World (entah apa bedanya gue dengan raptor....)




Tapi, ini pendapat saya sebagai awam ya, saya enggak melihat film ini bisa menandingi pendahulunya. Entahlah, ada banyak sebab. Pertama, film ini kurang menegangkan. Saya enggak merasa terancam tuh dengan adanya si Indominus Rex. *sombong* *mentang-mentang ada Mas Pratt*

Kedua, karena Jurassic World cenderung lucu dan fun. Tidak seperti film sebelumnya yang lebih nyata dan menegangkan karena tokoh-tokoh lamanya pun “serius” macam ilmuwan.

Sebab lainnya, karena formula yang digunakan Treverrow mirip dengan racikan Spielberg. Latar belakang keluarga kedua tokoh, kakak-adik yang beda karakter, pertempuran antardino untuk penutup, adegan dino yang mengkocok-kocok si tokoh yang ada di dalam sebuah kendaraan (dulu pernah jeep, bus, pesawat), serta bagaimana si tokoh menahan nafas dan suara biar tidak teridentifikasi si dino (walau secara rasional ini enggak masuk akal hahahaha).

Tapi secara keseluruhan, saya suka film ini. Saya suka mendengarkan kembali minus one-nya yang megah dan petualangan banget itu, suka efek tergiring masuk ke Jurassic World, suka dengan romantisme jeep tua, dan suka Mas Owen Grady tentunya. Hahahaha..

Comments

Popular Posts