Review Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald: Tanda Tanya Masa Lalu


Dari Manhattan, New York, 1920-an yang dingin dan penuh kecemasan, kali ini kita ke Paris. Ini gara-gara Gellert Grindelwald, penyihir bengis pra-Voldemort kabur dalam upaya migrasi penjaranya dari Amerika ke Eropa. Grindelwald yang di film sebelumnya, Fantastic Beasts and Where to Find Them (2016) ditangkap oleh pahlawan nerdy kita yang hawt, Newt Scamander (Eddie Redmayne), kali ini pamer kesangarannya.

Jadi, oh ini sedih sekali sih buat saya, jangan harap kita bakal melihat banyak makhluk fantastik masuk ke koper ajaib babang Newt. Beda dengan film pertama, sekuel ini cuma mempertontonkan sekelumit makhluk menakjubkan, dan serta-merta aksi penaklukan oleh Newt hanya numpang lewat. Buat syarat aja. Buat pantes-pantesan doang karena judulnya Fantastic Beasts, ya masa isinya malah parade cowok-cowok seksih. 

Bahkan misal Newt nggak mampir juga nggak papa, jalan ceritanya masih akan sama. Eh tapi kalau nggak ada babang Newt, dek Isma yang sedih ding. Wkwk.


Pun judul Crimes of Grindelwald, tak sesempurna itu terejawantah dalam film yang skenarionya ditulis J.K. Rowling sendiri. Nyatanya film ini belum menunjukkan kedigdayaan Grindelwald, yang konon kekuatannya hanya bisa diimbangi Albus Dumbledore (Jude Law).  Film ini sekadar pintu masuk, yang mengenalkan kita pada zaman Hogwarts lawas. Saat Dumbledore masih muda, segar, punya aura seksi yang ngumpet-ngumpet, tapi sudah bijaksana.


Hey, Jude....

Yup, ini adalah film tentang Grindelwald (Johnny Depp). Potterheads pasti ngerti lah ya, bahwa sosok ini spesial banget karena sempat bikin kacau dunia sihir lintasbenua. Sebelum Voldermort lahir, Grindelwaldlah antagonis yang memainkan politik licik di kalangan penyihir darah murni, dengan muggles alias menungso seperti hamba dan sobat misqueen lainnya.

Grindrwald eh Grindelwald jugalah yang membuat masa lalu Dumbledore jadi nggak lurus-lurus amat. Karena konon mereka berdua punya hubungan uhuk-uhuk sampai bikin janji gak mau duel segala. Tapi plis jangan tanya siapa yang bottom di antara mereka, karena jadi ngilu ngebayangin babang Jude Law dan Johnny Depp “berduel pake tongkat”. Eh.

Nah film ini mengenalkan kita pada dunia Dumbledore muda. Saat ia ngomporin babang Newt untuk melawan Grindelwald. Saat Grindelwald menyadari kelicikannya lebih moncer ketimbang kekuatannya, sehingga akhirnya mengajak obscurial Credence Barebone (Ezra Miller) bergabung ke pihaknya. Saat Newt dan Theseus, kakaknya yang -ah yes!- manis manja dan suka berpelukan itu bersama-sama melawan Grindelwald and the gang.


Scamander and his "Salamander"

Saat kawan muggle Newt, Jacob Kowalski, menghadapi dilema romantikanya dengan penyihir Queenie. Saat mata Newt sesekali menyalak penuh gairah bertemu dengan Tina Goldstein (Katherine Waterston). Saat tabir rahasia keluarga Lestrange perlahan terbuka. Saat Credence melulu gelisah mencari jati dirinya.. dan saat Nagini mulai muncul, sebagai anggota sirkus sihir keliling di tengah Paris yang riuh.

Saya sebagai penggemar berat Potter -dan bahkan sampai sekarang masih berharap dapat surat dari Hogwarts untuk belajar di sana dan curiga bakal bergabung di Slytherin- merasa bahwa ini film yang memang didedikasikan untuk para Potterheads. Sebab banyak sekali hal dalam film ini yang berpilin begitu saja tanpa memberi penjelasan bagi mereka yang tak selera membaca novelnya, maupun buku “karangan” Newt Scamander.

Tak ada penjelasan apa itu boggart, misalnya. Atau soal cermin tarsah. Atau kenapa Dumbledore emoh duel dengan Grindelwald. Atau kenapa Theseus ganteng dan baik dan auror dan ettt dah aku ngaco. Sebelah saya di bioskop yang adalah dua lakik wangi dan tampak mesra satu sama lain pun terlihat enggak paham dengan apa yang sedang mereka tonton. Kalau pun salah satunya terdengar serius menjelaskan, aslik penjelasannya ngawur sampai pengin saya petrificus totalus-in dulu wkwkwk.

Karenanya film ini memang lumayan bisa mengobati gelak rindu saya akan dunia sihir. Apalagi kita dibawa kembali ke Hogwarts lewat tokoh Leta Lestrange (Zoe Kravitz), auror yang menyusuri lagi kenangannya semasa masih sekolah. Pemandangan kelas Against The Dark Arts yang diisi Dumbledore muda, kastilnya yang eksotis, juga Prof Minerva McGonagall seolah membawa saya ke belasan tahun lalu. Saat Harry, Ron, dan Hermione masih bocah dan punya segudang ide nakal di gubuk Hagrid.

Eh tapi katanya, kehadiran McGonagall dipaksakan di film ini. Sebab berdasarkan timeline para muggles, beliau mestinya belum mengajar di Hogwarts ketika itu.

Sayangnya film ini terasa “kurang mantra”. Bukan hanya karena ceritanya penuh sesak plot. Namun juga karena banyak yang serbananggung sehingga di hati jadi kurang greng. Sudah tak banyak fantastic beast yang muncul di sini, Grindelwaldnya kurang kejam pula kelakuannya. Masih kalah menarik lah dia dibanding sosok Credence yang eksentrik. 

Pertempuran antara para auror dengan gengnya Grindelwald pun kurang klimaks. Walau tak bisa dipungkiri, cara Grindelwald mengumpulkan bala-bala tralalanya jauh lebih megah dan gagah ketimbang saat Voldie memanggil para Pelahap Maut. Buseeet beli kain di Tenabang berapa ratus meter sih, Pak?


Gimana hasil bleaching rambut akuh, dek?

Nah ini, apa karena Johnny Depp yang memerankan Grindelwald ya, yang membuat tokoh sevital ini jadi kurang “hidup”? Mungkin sayanya yang bosan dengan cara Depp berakting. Karena pada akhirnya saya tak melihat Grindelwald di layar, tapi hanya Johnny Depp dengan pupur putih supertebal dan softlens gajebonya. 

Yang menurut saya menarik justru cara Jude Law membawakan sosok Albus Dumbledore. Sesuai bayangan saya, Dumbledore muda yang dibawakan Jude Law adalah tokoh sihir yang hebat, nyentrik, ganteng, dan flamboyan. He’s my favorite gay human beings!

Gongnya sih ada di akhir film. Plot twistnya yang ala sinetron beneran bikin isi perut jumpalitan. Betul-betul membuat saya dalam perjalanan pulang jadi mereka-reka silsilah keluarga Dumbledore, dan sampai sekarang pun masih dirundung penasaran. Jadi, siapa sih sebenarnya "dia"?

Comments

Post a Comment