Bu Tejo yang Viral, Budaya Ngrasani, dan Identitas Perempuan
Wis lah yakin, bar iki mesti ono sing menganggap film Tilik seksis. Melabeli perempuan sebagai ratu ghibah, menjatuhkan sesama perempuan, dan gampang kemakan hoax. Itu yang melintas di pikiran saat saya nonton Tilik beberapa hari lalu.
Tiba’e bener. Ada sejumlah tulisan yang mempersoalkan betapa film ini tak lepas dari stereotipifikasi yang menganggap perempuan lekat dengan hal-hal berbau gosip. Dan pikiran saya pun langsung gatel pengin ngulik pendapat itu. Trus apa lagi “cacat” konstruksinya bagi mereka? Bahwa budaya tilik itu selama ini dilakoni perempuan, karena: a) bojone kerja, jadi si bini yang menjenguk tetangga/kerabat yang sakit (larinya akan ke pembagian kerja berbasis gender); atau b) perempuan identik dengan tugas pengasuh dan perawat (nurturing)? Aelah, haha.
Membaca itu, saya sih senyum-senyum aja. Mengkritik mah bebas, ya, tapi kok lama-lama saya gelo. Dan lelah juga. Kenapa dalam beberapa produk –seperti film, pandangan seperti ini selalu dan selalu mengemuka, bahkan melewati bangunan opini yang mungkin (sengaja) disuguhkan si sutradara dan penulis naskah? Walau memang, Tilik sangat membuka ruang untuk interpretasi sejumlah persoalan, tak hanya gender, tapi juga sosial dan politik.
Saya pikir, Tilik menarik karena melampaui urusan seksis ataukah tidak. Ini film jujur. Yang suka atau tidak suka, memang akan berbenturan dengan nilai yang dianggap ideal oleh sebagian orang. Kamu ngakak nggak, nonton ini? Atau datar saja dan sibuk mengomeli kejamnya naskah yang menurutmu bias gender? Kalau saya sih, ngakak terus sejak awal sampai akhir. Bahkan saya ikut nyumpah-nyumpah “asyu”, “nggaplekkiii”, dan “nggatheliiiii”, walau tak sefasih logat bojone Mas Gotrek.
Kenapa saya ketawa? Karena saya relate dengan film itu. Apakah perasaan relate itu karena saya perempuan dan doyan gosip? Yo ora to, cuk. Ta cokot, lho. Saya merasa relate karena Tilik mengupas banyak persoalan dengan rasa yang sangaaaaaaaaaat lokal. Nah, ke-lokal-annya itu yang membuat saya merasa dekat dengan film ini. Saya mengalami budaya tilik, ada di rombongan penjenguk yang di perjalanan syibuk bergunjing, guyonan saru Ibu-ibu soal ranjang yang emang bikin cekakakan, serta soal hoax yang bergelimang di media sosial maupun grup whatsapp kawan/keluarga.
Budaya ngrasani itu, betapa pun menjengkelkannya, memang terus ada di sekitar kita. Nggak hanya saat tilik, nggak hanya di Bantul, malah. Ngrasani juga dilakukan oleh kamu kamu yang di luar truknya Mas Gotrek. Bahkan sekarang banyak banget ngrasani virtual, alias rerasan di platform gosip yang memungkinkan Bu Tejo 1 dengan Bu Tejo 2 tukar informasi bak intelijen. Nah, di Tilik, Bu Tejo dkk ini ibarat netizen versi kearifan lokal. Wkwkwk.
Hebatnya Tilik, semua itu dibungkus dengan kemasan yang renyah, koplak, halus, tapi juga padat. Bayangkan lho, cuma 30 menit filmnya, tapi banyak yang dibicarakan. Ada soal kemajuan teknologi dan arus informasi, sugarbaby dan sugardaddy, perasaan insecure, juga tentang uang suap calon pejabat. Bahwa di antara riuhnya percakapan Bu Tejo, Yu Sum, dan lainnya itu ada persoalan perempuan yang dibangun, iya memang ada.
Tapi alih-alih berkutat soal citra perempuan sebagai penggosip, saya malah tertarik pada pertentangan antara Dian yang single, dengan para ibu-ibu yang mempertanyakan identitas yang melekat pada perempuan muda itu. Dian adalah perwujudan sosok perempuan yang mandiri, punya kuasa atas dirinya, bodo amat sama persepsi netizen dan tetap posting yang dia sukai di media sosial, dan bahkan (bisa jadi) dia menyadari ketubuhannya untuk mendapatkan apa yang dia mau.
Sementara di geng truk Mas Gotrek, tersebutlah perempuan yang bahkan tak semuanya otonom dengan nama panggilannya. Memang ada yang dipanggil dengan nama aslinya seperti Yu Sum. Sementara perempuan lainnya –seperti Bu Tejo dan Bu Tri, memilih dipanggil dengan nama suaminya. Kuasa mereka adalah samar, semacam bayangan yang tak utuh karena sebagai perempuan, ia menjadi “ada” karena identitas suaminya yang lebih dominan (sudah-sudah, jangan malah meleng ke eksistensialisme, hahahaha..).
Pun hal dari Dian yang mengusik Bu Tejo dkk ini lagi-lagi, soal status lajangnya. Kebebasannya. Para perempuan di truk ini seolah tak rela ada Dian yang cakepnya ditakutkan bisa membuat bojo mereka meleng dan tergoda. Eksesnya, menjadi objek pergunjingan masyarakat (tak harus perempuan lho, ya) adalah harga kultural yang seolah-olah wajar ditelan Dian karena dia “di luar normal”. Dian menjadi liyan, karena memilih tidak/belum menikah, sementara (idealnya, bagi netizen) perempuan seusianya sudah berkeluarga.
Ah, selalu begitu. Perempuan dianggap rentan menjadi penggoda atau nakal bila dia cakep dan belum menikah. Punya duit banyak aja langsung dipertanyakan, dapatnya dari mana. Hahaha.. Sabar ya, Mbak Dian.
Apapun itu, saya menikmati bagaimana Tilik memframing budaya warga di sana dengan jenaka tanpa melukai siapa-siapa. Yakin saya, walau “Bu Tejo asli” tahu ada potret dirinya yang difilmkan, ia tak akan marah dan malah akan ketawa karena kelakuannya bocor alus di film itu. Buat saya, sutradara dan timnya berhasil membuat road movie yang memorable, dengan sosok-sosok ikonik seperti Bu Tejo dan Gotrek, juga dialog yang supeeeeeeer legit.
Dadi wong ki mbok sing solutip ngono, lhooooooo...
Comments
Post a Comment